Rabu, 15 Mei 2013

Mengapa?

Mengapa kau menjalin hubungan dengannya jika pada kenyataannya kau masih sayang padaku?
Mengapa kau berkata cinta padaku padahal kau masih memiliki dia?
Mengapa kau mendua jika salahsatu bisa dikorbankan?
Mengapa kau tak berani untuk mengambil sebuah keputusan?
Mengapa? Semuanya tentang 'mengapa'.
Karena dalam benakku, penuh dengan kata 'mengapa' yang tak berani ku tanyakan pada dirimu.

Selasa, 07 Mei 2013

LDR

Duh, ngapain lagi ya? Batinku dalam hati.
Aku hanya bisa menatap layar laptopku sembari duduk tak berdaya. Rambut yang kusut, kacamata yang turun sampai ke hidung, kantung mata sudah berubah warna menjadi seperti mata panda, dan bau badan tak sedap. Sempurna! Beginilah kehidupanku setelah melaksanakan Ujian Nasional tingkat SMA. Nganggur selama tiga bulan? Ya ampun. What should I do selama tiga bulan kedepan? Tanyaku dalam hati.
Entah setan atau malaikat mana yang merasuki pikiranku. Akupun langsung menarik handukku yang menggantung di belakang pintu kamar dan bergegas ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan badan. Cukup dengan limabelas menit badanku sudah bersih mengkilap. Setelah selesai mandi, tak lupa pelembab wajah ku ratakan secara perlahan. Deodorant pun ku oleskan secara bergantian. Parfum Givhency Lovely Prism ku tak lupa ku semprotkan ke seluruh tubuh. Sampai-sampai, aku merasa kalau wanginya bisa tercium dari jarak 100 meter. Mirisnya, persiapan ku yang se-demikian rumitnya hanya berakhir di meja belajarku. Yap! Aku kembali menjelajah dunia maya.
Akupun teringat kejadian setahun yang lalu. Dimana aku mendapat teman-teman dari sebuah situs secara random. Ah, gimana kalo main itu lagi? Kali aja dapet yang bening. Pikirku dalam hati. Jemariku menari di atas keyboard laptopku. Sebuah situs pertemanan ku ketikkan di addres bar. Setelah terbuka, tanpa pikir panjang akupun langsung meng-klik tombol 'mulai chatting'. Langsung saja ku ketikkan kata 'hi'.
Teman Kamu: hi juga
Kamu: asl?
Teman Kamu: 16 m jkt
Teman Kamu: kamu?
Kamu: 17 f bdg
Teman Kamu: normal chat ya
Kamu: oke
Setelah kami banyak berbincang-bincang, kamipun bertukar akun social media. Dan obrolan pun terus berlanjut sampai akhirnya kami bertukar nomor handphone. Bagi kami, sepertinya siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Karena jika malam menjelang, kami baru beraksi. Jika siang menjelang, kami sibuk dengan urusan masing-masing; aku sibuk dengan pekerjaanku sebagai pengangguran, dan dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pelajar di bangku kelas 2 SMA. Saat kami berbincang-bincang lewat pesan singkat (re: sms), tiba-tiba saja dia menceritakan tentang wanita yang di sukainya.
"Eh, aku kan punya sahabat, dia cewek, aku suka sama dia."
Begitu katanya. Ya, aku pikir itu adalah hal yang wajar jika menyukai sahabat sendiri.
"Sakit banget deh kemarin. Masa pas dia nangis ada cowok lain yang ngusapin air matanya, di depan aku coba."
Baru membayangkannya saja aku sudah bisa merasakan sakitnya menjadi dia.
"Oh iya, aku juga suka sama adik kelas aku, mau liat gak? Aku kirim via WhatsApp ya fotonya."
Ketika ku lihat fotonya, entah mengapa badanku terasa lemas. Darahku seakan berhenti mengalir. Jantungku seakan berhenti berdebar. Mataku seakan tak kuasa untuk berkedip. Bibirku terasa kaku. Cantik, imut, manis. Pantes lah dia suka sama anak ini. Gumamku dalam hati. Tiba-tiba saja, aku merasakan ada setetes air mengalir pelan dari mata ke pipiku. Eh kenapa ini? Kok nangis? Masa iya cemburu? Pertanyaan tersebut tak henti-hentinya ku lontarkan pada diriku sendiri.
"Eh, gue tidur duluan ya. Ngantuk." 
Kalimat itu aku kirimkan padanya. Unmood. Tiba-tiba datang begitu saja.
Keesokan harinya, selama sehari penuh aku tidak meghubungi dia. Begitupun dengan dirinya. Pada malam harinya, dia mengirim sebuah pesan padaku.
"Hey, kamu kenapa? Kamu marah sama aku?"
Dua kepribadian bergelut dalam diriku. Dua pendapat berbeda beradu argumen dalam pikiranku: Balas? Atau tidak? Namun ternyata, salahsatu harus mengalah. Aku putuskan untuk membalas pesannya.
"Marah? Kenapa harus marah? Marah kenapa emang?"
Tebakannya memang benar. Namun, menjadi hal yang tak mungkin jika aku harus mengakuinya.
Seminggu berlalu. Hubungan kami menjadi semakin dekat. Setiap hari kami berkirim pesan singkat. Bahkan, kami sudah berani membubuhkan kata 'sayang' di setiap pesan.
"Eh, tadi aku jalan sama sahabat aku itu loh."
Untuk kedua kalinya, tubuhku terasa kaku dan lemas. Jemariku hanya mampu menari di atas dua tombol yang merangkai kata "oh".
"Kamu kok gitu? Marah ya? :("
Ini anak kenapa sih? Udah tau marah, udah tau cemburu, pake nanya segala! Cercaku dalam hati.
"Ngga kok. Kenapa harus marah? Aku kan gak ada hak. Silakan aja kalo kamu mau main sama siapa aja juga boleh :)"
Kataku sambil sedikit menghibur diri. Aku pun tak mau kalah. Aku menceritakan pengalamanku bersama teman laki-lakiku.
"Eh, tadi aku main sama temn aku yang waktu itu aku ceritain loh."
Aku berharap dia pun akan merasakan apa yang aku rasakan. Dan ternyata, dia pun hanya membalas "oh"
"Kenapa?" Tanyaku seakan tidak tahu apa-apa.
"Aku kadang sakit denger kamu kayak gitu. Kamu main sama temen cowok kamu :("
Benar saja. Perkiraanku samasekali tak meleset.
"Aku juga sama. Aku sakit hati denger kamu jalan sama temen kamu yang cewek itu. Aku cemburu :("
Se-kuat-kuatnya diriku, lebih tak kuasa jika harus memendam perasaan pada seseorang. Kami pun saling menjelaskan pada satu sama lain. Dan akhirnya aku tahu apa yang dia rasakan. Begitupun sebaliknya.
"Eh, aku masa jadi suka beneran sama kamu hahaha."
Senyuman pun terukir di wajahku.
"Oya? Suka gimana maksudnya?" Tanyaku pura-pura tak tahu apa maksudnya.
"Yaa suka aja gitu, ada rasa cinta hahaha." Jawabnya sembari bercanda.
Senyumku terasa semakin melebar saja.
"Kalo misalkan kita pacaran nih ya hahaha, kamu mau kan terima aku apa adanya?" Tanyanya.
"Iya, aku terima kamu apa adanya kok :) kamu juga terima aku apa adanya kan?" Tanyaku.
"Iya, aku terima kamu apa adanya kok :)"
Entah mengapa, rasa senang itu tak dapat di gambarkan dengan kata-kata. Apalagi dengan sebuah gambar.
Beberapa hari kemudian, aku merasakan kedekatan yang lebih dekat dari sebelumnya. Tiba-tiba saja, pada malam hari.
"Eh, aku sholat isya dulu ya :)" Katanya
"Iya, jangan lupa doain aku :)"
"Aku doain semoga kamu jadi pacar aku hahaha." Katanya sembari bercanda
Apalagi ini? Ya ampun! Pikirku sembari menahan senyum.
"Ga usah berdoa, minta aja langsung sama orangnya, pasti langsung diterima hahaha." Balasku.
Beberapa menit berlalu. Dia mengirimkan pesan lagi.
"Kamu mau gak jadi pacar aku? Katanya kalo minta langsung sama orangnya langsung di terima hahaha."
Seperti petasan pada saat tahun baru. Perasaan senang meledak-ledak dalam diriku.
"Kamu gak malu pacaran sama cewek yang lebih tua? Kamu gak nungguin cewek-cewek yang kamu suka? Sanggup emang LDR? Ayo jawab semua! :p" Pertanyaan ku lontarkan sebanyak-banyaknya.
"Ngapain harus malu? Biasa aja kali. Soal nungguin mereka, aku gak tau. Aku maunya kamu tinggal disini." Jawabnya
'Soal nungguin mereka, aku gak tau.' Pernyataan yang sebenarnya membuat aku menjadi ragu. Tetapi, aku tak bisa menolak tawarannya. Pada akhirnya, akupun menerima tawarannya.
Kurang lebih sudah tiga minggu kami menjalani hubungan jarak jauh ini. Tiba-tiba saja, aku menerima sebuah pesan darinya yang membuat air mataku menggenang di pelupuk mata.
"Gak usah sms aku lagi. Maaf."
Akupun segera membalas pesannya. Meminta penjelasan darinya. Namun ia meminta waktu untuk tidak diganggu.
Seperti orang bodoh, tak henti-hentinya aku melirik ponselku. Berharap ada sebuah pesan darinya. Namun pada kenyataannya tidak ada. Ketika malam menjelang, barulah ia mengirim sebuah pesan. Ternyata orangtuanya tahu kami berdua menjalin sebuah hubungan, dan mereka tidak menyetujuinya karena satu hal. Dia memintaku agar mengirim pesan seperti pada teman saja. Tak ada kata sayang, atau apapun yang berhubungan dengan itu.
Beberapa hari berlalu. Aku merasa dia menjadi acuh padaku. Seperti teman. Yaa memang sedikit sakit. Namun aku mencoba kuat. Air mata ku teteskan setiap malam. Terkadang, aku mematikan handphone agar aku merasa tenang.
Keesokan harinya, ternyata aku merasa tak kuat lagi untuk menghadapi semua ini.
"Kamu lagi sibuk ga? Aku mau ngomong sama kamu." Pintaku.
"Nggak kok. Ngomong aja." Jawabnya
"Aku kayanya mau udahan sama kamu."
"Kok udahan? Kenapa? :'("
Akupun menjelaskan semuanya secara rinci. Dan akhirnya ia bisa mengerti apa yang aku maksud.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar darinya bahwa dia telah berpacaran dengan adik kelas yang di sukainya.
"Selamat ya, semoga langgeng :)" Kataku
"Iya, makasih :) kamu juga cepet move on dari aku ya :)" Katanya
"Iya :)"
Aku pura-pura kuat menghadapi semua ini. Saat ku lirik profil salahsatu akun social medianya, ternyata disana tercantum nama kekasihnya. Kenapa? Kenapa waktu itu gue gak kaya gitu? Tanyaku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menjauhinya selama beberapa hari.
"Aku gak akan ngehubungi kamu untuk beberapa hari." Jelasku
"Kok gitu? Kamu marah? :'(" Tanyanya
"Aku badmood kalo ngobrol sama kamu."
Akupun tidak menghubunginya selama beberapa hari.
"Aku kangen sama kamu :'("
Itulah pesan yang aku terima darinya. Tetapi tak aku pedulikan.
Setelah beberapa hari tak menghubungi dirinya, akhirnya aku menyerah juga. Aku pun menghubunginya. Kami memutuskan untuk berbincang-bincang lewat telepon.
"Aku kangen sama kamu." Katanya
"Kok kangen?"
"Gak tau, kangen aja." Jawabnya
Beberapa menit berlalu. Sebuah pernyataan tiba-tiba melintas di benakku. Tanpa pikir panjang, akupun langsung mengatakan padanya. Dan setelah aku mengatakan padanya, tiba-tiba saja  suaranya terdengar berbeda. Seperti sesenggukan.
"Kamu nangis?" Tanyaku
"Nggak kok" Jawabnya dengan suara yang lebih berat
"Bohong! Kamu nangis ya?" Tanyaku sedikit memaksa
"Iya, aku nangis." Jawabnya diiringi dengan tangisannya yang semakin menjadi.
Untuk pertama kalinya aku membuat seorang anak laki-laki menangis. Dan baru aku sadari, ternyata anak laki-laki tak selamanya kuat. Merekapun bisa menangis seperti halnya anak perempuan.
"Aku nyesel banget" Katanya
"Udah gak ada yang harus di sesali. Yang udah mah udah aja."
Tangisnya terdengar semakin kencang. Akupun merasa tak tega mendengarnya. Ingin sekali rasanya meneteskan air mata, namun ternyata tak bisa.
Dari semua ini, aku tersadar bahwa penyesalan selalu datang di akhir cerita. Jika penyesalan hadir di awal cerita, kita tak akan pernah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan kita tak pernah bisa merasakan sakitnya sebuah penyesalan.
Hubunganku dengan dirinya saat ini masih terbilang baik-baik saja. Meskipun terkadang terasa sakit. Namun, aku mencoba kuat menghadapi semua ini.


Tamat